Sejarah Awal Mula
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan
Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai
diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad
ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di
nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan
Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha
yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan
Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil
ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang
pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh
beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama
Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507
Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak
dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat
Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang
XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah
meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau
pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di
Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu
Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah.
Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim
yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal
dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30
November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah
yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh
Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya
Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal
yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti
untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh
dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).
Prasasti Peninggalan Kesultanan
Aceh, yang ditengarai sebagai Singgasana Sultan Aceh
Aceh adalah wilayah
yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar pula. Selain Kesultanan
Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula Kerajaan
Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat
Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi
Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan
Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah
yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat,
yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan
terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana
Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi
Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73).
Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak
termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal.
Dalam hikayat Aceh seperti yang dianalis Denys Lombard dalam
bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”,
bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan,
satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang,
yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan
merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa
penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai
penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun
selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu
menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya
(Denys Lombard, 2007:43).
Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat
dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang
menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih
menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa
cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos
tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh
seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis,
nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan
dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar). Tiga
abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita
tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat
pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari
orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini
sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard,
2007:62).
Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang
berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang
disebut Aceh ialah daerah yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa
Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah
yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh
disebut Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang menyebutkan nama "Aceh
Lhee Sagoe" (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula yang menggunakan
Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang
pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak
ibukotanya," untuk menamakan Aceh.
Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh
untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara
lengkapnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum
ada suatu kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan.
Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang
berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”,
“Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”,
“Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan
nama “Atje” dan “Tashi” (Sufi & Wibowo a, 2006:73-74).
Letak
Ibukota Kesultanan Aceh, Kutaraja, yang kemudian dikenal dengan Nama
"Bandar Aceh Darussalam"
Sementara
itu, menurut penelitian K.F.H. van Langen yang termaktub dalam
karya ilmiah berjudul “Susunan Pemerintahan Aceh Masa Kesultanan”
(1986), dituliskan bahwa menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh
disebut Ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar
dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra yang mendiami daerah
antara Selangor dan Gunung Ophir di
Semenanjung Tanah Melayu, menurut van Langen, ini adalah pertanyaan-pertanyaan
yang harus dipecahkan lagi dalam studi perbandingan bahasa Melayu-Polinesia.
Tetapi sejauh masalah itu belum dapat dipecahkan, maka tetaplah bisa dianggap
bahwa Mante adalah penduduk asal daerah Aceh, terutama karena
nama itu tidak merujuk pada penduduk asal suku-suku bangsa lain (K.F.H. van
Langen, 1986:3).
a.
Masuknya Kolonialisme Barat
Kedatangan
bangsa Eropa, dalam hal ini Portugis selaku bangsa Eropa yang pertama kali tiba
di Aceh, menjadi salah satu faktor utama runtuhnya Kerajaan Samudera Pasai,
selain juga disebabkan serangan Majapahit. Pada 1508, atau kurang dari setahun
setelah Sultan Ali Mughayat Syah memproklamirkan berdirinya Kesultanan
Aceh Darussalam, armada Portugis pertama yang dipimpin Diogo Lopez
de Sequeira tiba di perairan Selat Malaka. Armada de Sequeira ini
terdiri dari empat buah kapal dengan perlengkapan perang. Namun, kedatangan
rombongan calon penjajah asal Portugis yang pertama ini tidak membuahkan hasil
yang gemilang dan terpaksa mundur akibat perlawanan dari laskar tentara
Kesultanan Malaka.
Kedatangan
armada Portugis yang selanjutnya pun belum menunjukkan peningkatan yang
menggembirakan. Pada Mei 1521, penguasa Kesultanan Aceh Darussalam yang
pertama, Sultan Ali Mughayat Syah, memimpin perlawanan dan berhasil mengalahkan
armada Portugis yang dipimpin Jorge de Britto yang tewas dalam
pertempuran di perairan Aceh itu. Dalam menghadapi Kesultanan Aceh Darussalam
dan keberanian Sultan Ali Mughayat Syah, Portugis membujuk Kerajaan Pedir dan
Samudera Pasai untuk mendukungnya.
Setelah
mengalami kekalahan dari Kesultanan Aceh Darussalam, armada Portugis kemudian
melarikan diri ke Kerajaan Pedir, namun pasukan Aceh Darussalam tetap mengejar
dan sukses menguasai wilayah Kerajaan Pedir. Pihak Portugis bersama Sultan
Ahmad, Raja Kerajaan Pedir, melarikan diri lagi dan mencari perlindungan ke
Samudera Pasai. Pasukan Sultan Ali Mughayat Syah meneruskan pengejarannya dan
berhasil mematahkan perlawanan Pasai pada 1524. Sejumlah besar rampasan yang
berupa alat-alat perang, termasuk meriam, digunakan tentara Aceh Darussalam
untuk mengusir Portugis dari bumi Aceh.
Kekalahan
Portugis tersebut sangat memalukan karena pasukan Aceh Darussalam mendapat
barang-barang rampasan dari alat-alat perang milik Portugis yang lebih
memperkuat Aceh Darussalam karenanya (Said a, 1981:187). Sultan Ali Mughayat
Syah memang dikenal sebagai sosok pemimpin yang pemberani dan penakluk yang
handal. Selain berhasil mengusir Portugis serta menundukkan Kerajaan Pedir dan
Samudera Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah, juga meraih kegemilangan dalam menaklukkan beberapa kerajaan lainnya di
Sumatra, seperti Kerajaan Haru, Kerajaan Deli, dan Kerajaan Daya.
Beberapa
catatan dari Barat, salah satunya yang ditulis oleh C.R. Boxer,
mengatakan bahwa menjelang tahun 1530 armada perang Kesultanan Aceh Darussalam
sudah mendapat kelengkapan perang yang cukup lengkap dan mutakhir. Bahkan,
sejarawan Portugis sendiri, Fernao Loper de Costanheda, menyebut
bahwa Sultan Aceh (Ali Mughayat Syah) lebih banyak memperoleh pasokan meriam
dibandingkan dengan benteng Portugis di Malaka sendiri. Selain itu, menurut
pejalan dari Barat lainnya, Veltman, salah satu rampasan paling berharga dari
Samudera Pasai yang berhasil dibawa pulang oleh Sultan Ali Mughayat Syah adalah
lonceng besar yang kemudian diberi nama “Cakra Dunia”. Lonceng
bersejarah merupakan hadiah dari Laksamana Cheng Ho kepada Raja
Samudera Pasai ketika panglima besar dari Kekaisaran Tiongkok itu
berkunjung ke Pasai pada awal abad ke-15 (Said a, 1981:168).
Sultan Ali
Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam hanya selama 10 tahun.
Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah,
pemimpin pertama Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah
Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530
Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun
ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Sultan Ali Mughayat
Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam,
antara lain :
- Mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak tergantung pada pihak lain.
- Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam lain di nusantara.
- Bersikap waspada terhadap kolonialisme Barat.
- Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.
- Menjalankan dakwah Islam ke seluruh kawasan nusantara.
Sepeninggal
Sultan Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh
sultan-sultan penggantinya. Sebagai penerus tahta Kesultanan Aceh Darussalam,
diangkatlah putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah yang bernama Salah
ad-Din sebagai penguasa Aceh Darussalam yang baru. Di bawah
pemerintahan Sultan Salah ad-Din, Kesultanan Aceh Darussalam menyerang Malaka
pada 1537 tetapi tidak berhasil. Tahun 1539, kepemimpinan Kesultanan Aceh
Darussalam dialihkan kepada anak bungsu Mughayat Syah, yaitu Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan
Mansur Syah. Adik dari Salah ad-Din ini perlahan-perlahan mengukuhkan kekuasaan
Kesultanan Aceh Darussalam dengan melakukan beberapa gebrakan. Tidak lama
setelah dinobatkan, pada tahun yang sama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar menyerbu orang-orang Batak yang tinggal di pedalaman. Menurut Mendez
Pinto, pengelana yang singgah di Aceh pada 1539, balatentara Kesultanan
Aceh di bawah pimpinan Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar, terdiri atas
laksar-laskar yang antara lain berasal dari Turki, Kambay,
dan Malabar (Lombard, 2007:65-66).
Penggambaran Kekuatan Militer Kesultanan Aceh Darussalam
Selain
terus berteguh melawan kaum penjajah dari Barat, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar juga melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang
membantu Portugis. Pasukan Aceh Darussalam menyerbu Kerajaan Malaka sebanyak
dua kali (tahun 1547 dan 1568), menawan Sultan Johor karena membantu Portugis,
serta berhasil mengalahkan Kerajaan Haru (Sumatra Timur) pada
1564. Untuk melegalkan kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam atas Kerajaan Haru,
maka diangkatlah Abdullah, putra pertama Sultan Ala ad-Din Ri`ayat
Syah al-Kahar, untuk memegang kendali pemerintahan Kerajaan Haru yang sudah
takluk dan menjadi bagian dari kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Namun,
berbagai peperangan besar antara Kesultanan Aceh Darussalam melawan Portugis
memakan banyak korban dari kedua belah pihak yang berseteru. Dalam suatu
pertempuran yang terjadi pada 16 Februari 1568, Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah
al-Kahar kehilangan putra tercintanya, Sultan Abdullah yang memimpin bekas
wilayah Kerajaan Haru.
Sultan Ala
ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar tutup usia pada 8 Jumadil Awal tahun 979
Hijriah atau 28 September 1571 Masehi. Karena putra
mahkota, Abdullah, gugur dalam sebuah pertempuran melawan Portugis, maka yang
diangkat untuk meneruskan tampuk tertinggi tahta Kesultanan Aceh Darussalam
adalah anak kedua almarhum yang bergelar Sultan Husin Ibnu Sultan
Ala`uddin Ri`ayat Syah atau yang juga sering dikenal dengan nama Ali
Ri`ayat Syah. Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah merupakan
sosok pemimpin yang pengasih dan penyayang rakyatnya. Di bidang politik serta
pertahanan dan keamanan, Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
berusaha meneruskan perjuangan ayahandanya dalam upaya mengusir kolonialis
Portugis dari bumi Aceh.
Akan tetapi, pergerakan Sultan ini tidak segemilang sang ayah kendati dia sudah
melalukan penyerangan ke Malaka hingga dua kali selama kurun 1573-1575.
Ketahanan Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah semakin limbung
ketika Aceh Darussalam menyerang Johor pada 1564, di mana Sultan ditangkap dan
menjadi tawanan perang. Akhir pemerintahan Sultan Husin Ibnu Sultan `Ala`uddin
Ri`ayat Syah, yang memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 7 tahun, berakhir
ketika sang Sultan wafat pada 12 Rabi`ul Awal tahun 987 Hijriyah atau
bertepatan dengan tanggal 8 Juni 1578 dalam tahun Masehi.
Sepeninggal Sultan Husin Ibnu Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah, Kesultanan Aceh
Darussalam memasuki masa-masa suram. Pengganti Sultan Ala`uddin Ri`ayat Syah
dipercayakan kepada anaknya, Sultan Muda, namun pemerintahannya hanya bertahan
selama 7 bulan. Karena ketika wafat Sultan Muda masih berusia belia dan belum
memiliki keturunan, maka yang diangkat sebagai penggantinya adalah Sultan Sri
Alam yang merupakan anak dari Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar,
penguasa ke-4 Kesultanan Aceh Darussalam. Akan tetapi, Sultan Sri Alam, yang
sebelumnya menjadi raja kecil di Pariaman (Sumatra Barat),
ternyata tidak becus dalam mengelola Kesultanan Aceh Darussalam. Dalam waktu
singkat, hanya 2 bulan memerintah, Sultan Sri Alam pun mati
terbunuh.
Roda pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya dijalankan oleh Sultan
Zainal Abidin. Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam kali ini adalah cucu
dari Sultan `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar atau anak dari Sultan Abdullah,
pemimpin wilayah Haru yang tewas ketika pertempuran melawan Portugis. Sama
seperti penguasa sebelumnya, Sultan Zainal Abidin juga tidak mampu memimpin
Kesultanan Aceh Darussalam dengan baik. Bahkan, Sultan ini merupakan sosok yang
bengis, kejam, dan haus darah. Sultan Zainal Abidin tidak segan-segan membunuh
demi memuaskan nafsu dan ambisinya. Sultan yang memerintah dengan tangan besi
ini memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama 10 bulan sebelum tewas
pada 5 Oktober 1579 (Said a, 1981:205).
Setelah era tirani Sultan Zainal Abidin berakhir, penerus kepemimpinan
Kesultanan Aceh Darussalam sempat bergeser dari garis darah yang mula-mula.
Dikisahkan, pada sekitar tahun 1577 Kesultanan Aceh Darussalam menyerang
Kesultanan Perak dan berhasil menewaskan pemimpin Kesultanan Perak, yakni Sultan
Ahmad. Permaisuri Sultan Ahmad beserta 17 orang putra-putrinya dibawa ke
Aceh sebagai bagian dari rampasan perang. Putra tertua Sultan Ahmad, bernama
Mansur, dikawinkan dengan seorang putri Sultan Aceh Darussalam yang
bernama Ghana. Tidak lama kemudian, Mansur ditabalkan menjadi
pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam menggantikan Sultan Zainal Abidin, dengan
gelar Sultan Ala al-Din Mansur Syah, dinobatkan pada 1579.
Sultan yang bukan berasal dari keturunan langsung sultan-sultan pendiri
Kesultanan Aceh Darussalam ini, berasal dari etnis Melayu Perak, adalah sosok
yang alim, shaleh, adil, tapi juga keras dan tegas. Pada masa kepemimpinan
Sultan Mansur Syah, Kesultanan Aceh Darussalam nuansa agama Islam sangat kental
dalam kehidupan masyarakatnya. Untuk mendukung kebijakan itu, Sultan Mansur
Syah mendatangkan guru-guru agama dan ulama ternama dari luar negeri. Namun, kepemimpinan
agamis yang diterapkan Sultan Mansur Syah ternyata tidak membuat Aceh
Darussalam berhenti bergolak. Pada 12 Januari 1585, ketika
rombongan Kesultanan Aceh Darussalam dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke
Perak, Sultan Mansur Syah terbunuh.
Gugurnya Sultan Mansur Syah membuat garis tahta Kesultanan Aceh Darussalam
kembali rumit untuk menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin Aceh
Darussalam yang selanjutnya. Atas mufakat para orang besar (tokoh-tokoh adat
dan kesultanan yang berpengaruh dan dihormati), maka diputuskan bahwa yang
berhak menduduki tahta Kesultanan Aceh Darussalam untuk menggantikan Sultan
Mansur Syah adalah Sultan Buyong dengan gelar Sultan
Ali Ri`ayat Syah Putra yang merupakan anak dari penguasa
Inderapura, Sultan Munawar Syah. Namun, lagi-lagi kekuasaan pucuk
pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam tidak langgeng. Sultan Ali Ri`ayat Syah
Putra meninggal dunia pada 1589 dalam suatu peristiwa pembunuhan. Sebenarnya,
yang akan dijadikan pemimpin Aceh Darussalam sebelumnya adalah Raja
Ayim, cucu Sultan Mansur Syah, akan tetapi calon sultan muda ini juga tewas
terbunuh.
Pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam yang berikutnya adalah Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604).
Pada era Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal berkuasa, kolonialisme
Eropa kian merasuki bumi nusantara dengan mulai masuknya Inggris dan Belanda.
Tanggal 21 Juni 1595, armada dagang Belanda yang dipimpin de Houtman bersaudara, Cornelis dan Frederick,
tiba di Aceh. Cornelis memimpin kapal “De Leeuw” sementara Frederick
bertindak sebagai kapten kapal “De Leeuwin”. Pada awalnya kedatangan
orang-orang Belanda disambut hangat oleh penduduk Aceh. Akan tetapi, kemunculan
kaum pedagang Belanda di Aceh ternyata dianggap menimbulkan ancaman tersendiri
bagi orang-orang Portugis yang sudah berada di sana sebelumnya. Portugis
sendiri pada akhirnya dapat dilenyapkan dari bumi Aceh Darussalam pada 1606 berkat
kegemilangan serangan yang dipimpin oleh Perkasa Alam yang
kelak menjadi Sultan Aceh Darussalam dan mashyur dengan
nama Sultan Iskandar Muda.
b. Masa Keemasan di Masa Sultan Iskandar Muda
Ketika Houtman bersaudara beserta rombongan armada Belanda tiba di
Aceh, hubungan yang terjalin antara Aceh dan Belanda berlangsung dengan
kedudukan yang setara, terutama dalam hal urusan perniagaan dan diplomatik (Isa
Sulaiman, eds. 2003:5). Mengenai hubungan perdagangan, de Houtman bersaudara
atas nama kongsi dagang Belanda, meminta kepada Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said
Al-Mukammal sebagai pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam, agar diperbolehkan
membawa lada dan rempah-rempah dari Aceh. Sebagai gantinya, de Houtman berjanji
akan membantu Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal untuk
memukul Johor yang saat itu sedang berseteru dengan Kesultanan Aceh
Darussalam. Selama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintah
selama 20 tahun, Kesultanan Aceh Darussalam terus-menerus terlibat pertikaian
besar dengan Kesultanan Johor. Perselisihan antara Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah
Said Al-Mukammal dan de Houtman mulai timbul ketika orang-orang Belanda yang
berada di Aceh mulai bersikap tidak sopan. Frederick de Houtman beberapa
kali mengatakan kebohongan ketika berbicara dengan Sultan Aceh Darussalam.
Salah satu tindakan dusta yang dilakukan Frederick de Houtman adalah ketika
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal menanyakan di mana letak negeri
Belanda dan berapa luasnya. Frederick de Houtman lalu membuka peta bumi dan
ditunjukkanlah pada Sultan bahwa negeri Belanda itu besar, meliputi hampir
seluruh benua Eropa, yakni antara Moskow (Rusia) sampai dengan Venezia
(Italia). Akan tetapi Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tidak
begitu saja percaya terhadap bualan Frederick de Houtman itu. Secara diam-diam,
Sultan bertanya kepada orang Portugis bagaimana sebetulnya negeri Belanda itu.
Orang Portugis tersebut tentu saja menjawab yang sebenarnya bahwa negeri
Belanda hanya satu bangsa kecil, bahwa negeri Belanda adalah negeri yang tidak
punya raja (karena pada waktu itu Belanda merupakan negara republik yang baru
saja dicetuskan, yakni Bataafsche Republik.
Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal tentu saja murka karena telah
diperdayai oleh orang asing yang menetap di wilayahnya. Maka kemudian Sultan
Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal memerintahkan tentaranya untuk mencari,
menangkap, dan kemudian memenjarakan Frederick de Houtman. Konon, lima orang
anak buah kapal Frederick de Houtman dibebaskan karena bersedia masuk Islam.
Rakyat Kesultanan Aceh Darussalam bertambah geram terhadap awak-awak kapal
Belanda karena kelakuan mereka yang dinilai melewati batas. Ketika salah satu
kapal Belanda merapat ke Pulau Malavidam yang terletak di
Lautan Hindia antara Sumatra dan Srilangka, Cornelis de Houtman,
saudara laki-laki Frederick, berkelakuan tidak sopan. Diceritakan, Cornelis
telah memaksa istri dari seorang tokoh masyarakat di pulau itu supaya berjalan
di hadapan orang-orang Belanda dalam keadaan telanjang bulat. Setelah itu,
Cornelis dengan paksa merampas barang-barang perhiasan yang menempel di tubuh
perempuan malang tersebut.
Kekejaman orang-orang Belanda belum berhenti. Tidak lama setelah peristiwa
memalukan di Pulau Malavidam, terjadi perampasan yang dilakukan oleh para awak
kapal Belanda terhadap kapal-kapal dan perahu-perahu milik nelayan Aceh.
Laksamana van Caerden, pemimpin kapal Belanda itu, tidak segan-segan menyerang
dan menenggelamkan kapal-kapal Aceh yang ditemuinya. Kelakuan orang-orang
Belanda tersebut jelas menimbulkan ketegangan dengan pihak Kesultanan Aceh
Darussalam dan kondisi ini ternyata menyulitkan pihak Belanda. Jika bermusuhan
terus dengan Aceh, kerugiannya teramat besar, selain keamanan pelayaran laut,
juga sumber perdagangan di bagian itu tidak dapat direbut Belanda dari
Portugis.
Jalur Perdagangan Aceh pada Abad ke-17
Ketika Portugis dan Belanda berebut pengaruh di tanah
Aceh, Kesultanan Aceh Darussalam justru mengalami konflik internal. Pada April
1604, anak kedua Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal, yaitu Sultan
Muda, melakukan kudeta terhadap ayahnya sendiri, lalu memproklamirkan dirinya
menjadi sultan dengan gelar Sultan Ali Ri`ayat Syah. Sebelumnya, Sultan Muda
pernah diangkat sebagai wakil Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal,
untuk memimpin Pedir yang telah berhasil ditaklukkan.
Namun, karena kinerja Sultan Muda dinilai tidak memuaskan, maka kemudian ia
ditarik kembali ke Aceh Darussalam untuk membantu ayahnya sekaligus mendalami
pengalaman dalam mengelola pemerintahan. Kedudukan Sultan Muda di Pedir digantikan
oleh saudaranya, Sultan Husin, yang sebelumnya diserahi tugas untuk
mengkoordinir wilayah Pasai. Dari sinilah mulai timbul keinginan dari Sultan
Muda untuk merebut tahta ayahnya, terlebih lagi sang putra mahkota, anak
pertama Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal yang bernama Mahadiradja,
telah gugur dalam suatu pertempuran. Tidak lama kemudian, masih di tahun 1604
itu, Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal akhirnya menutup mata.
Pemerintahan baru di bawah komando Sultan Muda alias Sultan Ali Ri`ayat Syah
ternyata menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa pihak, termasuk dari
saudaranya sendiri, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir. Rasa tidak puas
atas kepemimpinan Sultan Ali Ri`ayat Syah di Kesultanan Aceh Darussalam juga
ditunjukkan oleh seorang anak muda yang pemberani, bernama Darma Wangsa atau
yang dikenal juga dengan panggilan kehormatan: Perkasa Alam. Karena
Sultan Ali Ri`ayat Syah memandang bahwa pergerakan Perkasa Alam cukup
membahayakan, maka kemudian Sultan Ali Ri`ayat Syah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Perkasa Alam. Namun, Perkasa Alam terlebih dulu mengetahui
rencana itu dan lantas meminta perlindungan kepada Sultan Husin di Pedir.
Sultan Ali Ri`ayat Syah semakin murka dan kemudian dilakukanlah serangan yang
cukup besar terhadap Pedir. Alhasil, Perkasa Alam dapat ditangkap dan
dipenjarakan. Daro balik kurungan, Perkasa Alam mendengar bahaya-bahaya yang
terjadi akibat agitasi Portugis dan tidak stabilnya kondisi rakyat Kesultanan
Aceh Darussalam karena ketidakbecusan Sultan Ali Ri`ayat Syah. Maka
dari itulah, Perkasa Alam kemudian mengirimkan pesan kepada Sultan Ali Ri`ayat
Syah bahwa sekiranya dia dibebaskan dari penjara dan diberi perlengkapan
senjata, dia berjanji akan dapat mengusir Portugis dari Bumi Serambi
Mekkah. Boleh jadi karena Sultan Ali Ri`ayat Syah sudah frustasi dengan
kekisruhan yang ditimbulkan oleh Portugis, maka permintaan Perkasa Alam
tersebut dikabulkan.
Perkasa Alam kemudian memimpin perang melawan Portugis secara habis-habisan dan
hasilnya memang tidak mengecewakan. Sekitar 300 orang serdadu Portugis tewas
akibat serangan jitu yang dikomandani Perkasa Alam. Benteng yang diduduki
Portugis dapat direbut kembali oleh pasukan Perkasa Alam. Karena mengalami
kekalahan terbesar, Portugis memutuskan untuk lari dari Aceh dan mundur ke
Malaka. Namun, di tengah jalan mereka berpapasan dengan armada Belanda yang
kemudian menyerang mereka sehingga Portugis benar-benar terpukul mundur dan
hancur.
Tanggal 4 April 1607, Sultan Ali Ri`ayat Syah mangkat. Terjadilah sedikit
ketegangan sepeninggal Sultan Ali Ri`ayat Syah ihwal siapa yang berhak
menyandang gelar sebagai Sultan Aceh Darussalam berikutnya. Perkasa Alam muncul
sebagai kandidat terkuat karena didukung oleh segenap tokoh adat yang
berpengaruh. Tidak seberapa lama, tersiarlah kabar bahwa Perkasa Alam didaulat
menjadi penguasa Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan baru inilah
yang kemudian terkenal dengan nama Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan
Meukuta Alam. Kendati suasana berlangsung sedikit tegang, namun dalam waktu
yang relatif tidak lama, Perkasa Alam atau yang bergelar sebagai Sultan
Iskandar Muda, mampu menguasai keadaan dengan mengkoordinir alat-alat
pemerintah, sipil, dan militer, sehingga kedudukannya sebagai Sultan Aceh
Darussalam semakin teguh.
Perkasa Alam lahir pada 1590. Anak muda gagah perkasa ini adalah
keturunan dari pemimpin Aceh Darussalam terdahulu, Sultan Ala ad-Din
Ri`ayat Syah al-Kahar. Perkasa Alam juga dikenal dengan beberapa nama lain,
di antaranya Darmawangsa dan Tun Pangkat. Setelah
memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Aceh Darussalam dan menyandang nama
Sultan Iskandar Muda, gelarnya pun bertambah sebagai Mahkota Alam.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam yang terbesar ini juga dikenal dengan nama
kehormatan Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat. Kadang-kadang orang
menyebutnya dengan menyatukan nama-nama itu, yakni menjadi Perkasa Alam
Maharaja Darmawangsa Tun Pangkat.
Berbagai nama dan gelar ini menunjukkan betapa mashurnya Sultan Iskandar
Muda, baik di dalam maupun di luar Aceh, di dalam dan di luar kepulauan
nusantara, sejak masa itu dan untuk beberapa waktu lamanya, bahkan hingga kini.
Di dalam negeri Aceh sendiri tidak ada seorang putra Aceh yang tidak mengenal
nama ini dari masa itu. Tiap-tiap orang sampai ke pelosok, tahu siapa Iskandar
Muda, demikian sejak beratus-ratus tahun hingga sekarang (Said a, 1981:282).
Setelah berjaya menduduki tahta tertinggi Kesultanan Aceh Darussalam, Perkasa
Alam yang bergelar Sultan Iskandar Muda segera merancang program untuk
meluaskan wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Beberapa misi yang diusung dalam
rangka program tersebut adalah antara lain :
- Menguasai seluruh negeri dan pelabuhan di sebelah-menyebelah Selat Malaka, dan menetapkan terjaminnya wibawa atas negeri-negeri itu sehingga tidak mungkin kemasukan taktik licik pemecah-belah “devide et impera” yang diterapkan kaum penjajah dari Barat.
- Memukul Johor supaya tidak lagi dapat ditunggangi oleh Portugis ataupun Belanda.
- Memukul negeri-negeri di sebelah timur Malaya, sejauh yang merugikan pedagang-pedagang Aceh dan usahanya untuk mencapai kemenangan dari musuh, seperti Pahang, Patani, dan lain-lain.
- Memukul Portugis dan merampas Malaka.
- Menaikkan harga pasaran hasil bumi untuk ekspor, dengan jalan memusatkan pelabuhan samudera ke satu pelabuhan di Aceh, atau sedikit-dikitnya mengadakan pengawasan yang sempurna sedemikian rupa sehingga kepentingan kerajaan tidak dirugikan (Said a, 1981:285).
Semenjak
Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam,
wilayah Aceh sendiri di sebelah timur sampai ke Tamiang disusun
kembali, dan di sebelah barat, terutama daerah - daerah di luar Aceh yang sudah
dikuasai, seperti Natal, Paseman, Tiku, Pariaman, Salida,
dan Inderapura, kembali dipercayakan kepada pembesar-pembesar yang
cukup berwibawa dan ahli menjalankan tugas untuk mengatur cukai-cukai dan
pendapatan lain bagi pemasukan Kesultanan Aceh Darussalam.
Sementara itu, setelah kekalahan Portugis, Belanda pun harus berpikir ulang
dalam meneruskan usahanya untuk menduduki Aceh karena memperhitungkan
posisi Sultan Iskandar Muda. Maka dari itu, sejak tahun 1606,
Belanda lebih memusatkan perhatiannya ke tempat-tempat lain di luar Aceh. Mau
tidak mau, Belanda harus memasang siasat dengan mendahulukan kepentingan untuk
menguasai tempat-tempat lain, terutama Jawa dan Maluku.
Belanda, di bawah kendali Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen,
memimpin Hindia Belanda sebanyak dua periode yakni pada 1619–1623 dan
1627–1629, sangat sadar bahwa Aceh saat itu tidak akan bisa dihadapi dengan
cara militer. Coen menganggap lebih baik menjalankan politik adu domba atau
pemecah belah saja. Tidak hanya Belanda saja yang gentar melihat kebesaran
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah komando Sultan Iskandar Muda, Inggris pun
merasakan kecemasan yang sama. Untuk itulah kemudian Inggris lebih
berkonsetrasi untuk beroperasi di daerah-daerah yang bukan menjadi wilayah
kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
Kesultanan Aceh Darussalam memiliki angkatan perang yang kuat sehingga
mendukung upaya Sultan Iskandar Muda untuk meluaskan daerah kekuasaannya. Dalam
masa Sultan Iskandar Muda, seluruh Pantai Barat Sumatra hingga
Bengkulu telah berada dalam kuasa Aceh Darussalam. Di tempat-tempat tersebut,
terutama di pelabuhannya seperti Pariaman, Tiku, Salida, Indrapura, dan
lain-lainnya, ditempatkanlah seorang panglima untuk memimpin masing-masing
daerah taklukan. Kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Iskandar
Muda juga sudah meluas di seluruh Sumatra Timur. Dengan
jatuhnya Pahang, Kedah, Patani, dan Perak,
boleh dikatakan masa itu Semenanjung Melayu dengan Sumatra
Timur, termasuk Siak, Indragiri, Lingga,
serta wilayah-wilayah di selatannya, di mana di dalamnya terdapat Palembang dan Jambi,
sudah menjadi bagian dari imperium Kesultanan Aceh Darussalam.
Ekspedisi Milter Sultan Iskandar Muda
Di sisi lain, Sultan Iskandar Muda ternyata masih penasaran dengan Portugis yang berlindung di Malaka. Aceh melihat kedudukan Portugis di Malaka merupakan suatu ancaman besar. Kendati sudah dalam kondisi terdesak, Portugis masih saja melakukan kegiatannya dengan menghubungi negeri-negeri kecil yang sudah berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Jadi, mau tidak mau Malaka dan Portugis harus dikalahkan dan untuk itu rencana menyerang Malaka tetap merupakan program yang selalu harus dijalankan dengan segera. Realisasi dari rencana itu terjadi pada 1629 di mana angkatan perang Kesultanan Aceh Darussalam menyiapkan pasukan berkekuatan 236 buah kapal dengan 20.000 prajuritnya.
Ketika armada perang Kesultanan Aceh Darussalam tiba di perairan Malaka, terlibatlah pertempuran di laut melawan armada Portugis. Aceh menang telak dalam perang ini sehingga pecahlah kekuatan angkatan laut Portugis. Hal yang sama juga terjadi dalam pertempuran darat. Angkatan perang Aceh Darussalam yang perkasa mengurung laskar tentara Portugis selama berbulan-bulan hingga tidak berkutik. Meski di atas angin, namun Sultan Iskandar Muda ternyata bisa lalai juga. Karena terlalu berkonsentrasi dalam upaya pengepungan, angkatan perang Aceh Darussalam tidak memperhitungkan, dengan tidak mengadakan penjagaan yang ketat di laut, adanya bantuan-bantuan dari luar kepada Portugis. Portugis sendiri telah mengantisipasi strategi pengepungan oleh Aceh Darussalam dengan menyediakan bahan makanan di dalam benteng untuk berbulan-bulan lamanya.
Pemimpin
terbesar Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, akhirnya meninggal
dunia pada 28 Rajab 1046 Hijiriah atau 27
Desember 1636 Masehi, dalam usia yang relatif masih muda, 46 tahun.
Menurut T.H. Zainuddin seperti yang dikutip oleh H. Mohammad Said dalam bukunya
bertajuk “Aceh Sepanjang Abad” (Waspada Medan, 1981), Sultan Iskandar
Muda mempunyai 3 orang anak. Pertama adalah seorang anak perempuan
bernama Puteri Sri Alam, yang merupakan buah hati Sultan dengan
Permaisuri dari Reubee. Kedua, dari selir yang berasal dari Habsyi,
Sultan Iskandar Muda memperoleh anak lelaki bernama Imam Hitam,
yang kelak menurunkan Panglima Polim. Anak terakhir Sultan Iskandar Muda
adalah Meurah Peupok, diperoleh dari istri selir yang berasal
dari Gayo. Menurut adat serta hukum yang berlaku di Aceh saat itu,
anak dari selir tidak bisa diangkat menjadi raja (Said a, 1981:332).
Sepeninggal Sultan Iskandar Muda, eksistensi Kesultanan Aceh Darussalam masih
terus berlanjut kendati belum bisa mencapai kejayaan seperti yang diperoleh
semasa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.
c. Keruntuhan Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja
perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai
penggantinya adalah Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin alias Puteri
Sri Alam, istri dari Sultan Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan
Iskandar Muda. Ratu yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din
Taj al-Alam ini memerintah Kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun
(1641-1675). Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya
tipu daya dari pihak asing serta bahaya pengkhianatan dari orang dalam istana.
Masa pemerintahan Ratu Taj`al-`Alam Tsafiatu`ddin selama 34
tahun itu tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanan dan
keluarbiasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam
bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang luar
biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj`al-`Alam
Tsafiatu`ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih
diteruskan oleh pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri
Paduka Putroe dengan gelar Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin
Syah yang menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang
tampuk pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon,
dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi
al-Din Nur al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha-usaha perebutan
kekuasaan oleh beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri
Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum
akhirnya Sang Ratu menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678.
Dua pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur
al-Alam masih dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din
Inayat Syah (1678-1688), dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah
Zinat al-Din (1688-1699).
Beberapa Peninggalan Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
yang Masih Tersisa
Memasuki abad ke-20, dilakukanlah berbagai cara
untuk dapat menembus kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh,
termasuk dengan menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan
Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck
Hugronje sangat serius menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas
Leiden ini sempat memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di
dalaminya pengetahuan tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa,
bahasa, adat-istiadat di Indonesia dan perihal yang khusus mengenai
pengaruh-pengaruhnya bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b,
1985:91). Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah
kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu
berkonsentrasi ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama.
Menurut Snouck Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh
adalah kaum ulama. Oleh sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh,
maka serangan harus diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih
detail, Snouck Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat
menguasai Aceh, antara lain :
- Hentikan usaha mendekat Sultan dan orang besarnya.
- Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
- Rebut lagi Aceh Besar.
- Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, giatkan pertanian, kerajinan, dan perdagangan.
- Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal ihwal rakyat dan negeri Aceh.
- Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan Aceh dan membikin korps pangrehpraja senantiasa merasa diri kelas memerintah (Said b, 1985:97).
Saran
ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan menyerang
basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar
Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil: Belanda
akhirnya sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M. Dawud kepada
Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh wilayah Aceh berhasil
dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah tunduk sepenuhnya
terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh adat dan
masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup banyak memiliki sosok pejuang
yang bukan berasal dari kalangan kerajaan, sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima
Polim, Cut Nya` Dhien, Teuku Umar, Cut
Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan
Aceh Darussalam telah dipimpin lebih dari tigapuluh sultan/ratu. Jejak yang
panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah
menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di
bumi Melayu.
Silsilah
Sepanjang
riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam
tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini
silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh
Darussalam :
- Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
- Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
- Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
- Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
- Sulthan Muda (1575)
- Sulthan Sri Alam (1575-1576)
- Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
- Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
- Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
- Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
- Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
- Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
- Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
- Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
- Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
- Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
- Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
- Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
- Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
- Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
- Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
- Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
- Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
- Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
- Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
- Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
- Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
- Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
- Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
- Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
- Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
- Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
- Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
- Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
- Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
- Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
(
Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )
Wilayah
Kekuasaan
Daerah-daerah
yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dari
masa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda, mencakup antara
lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga,
Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan
Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat
Malaka termasuk Johor dan Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan
Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai
mengalami kemunduran pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar Abad ke-14 dan 15 Masehi
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida, Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam masih meluas dan menguasai seluruh Pantai Barat Sumatra hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh Darussalam bahkan mampu menaklukkan Pahang, Kedah, serta Patani. Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:
1. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam tiga Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
- Sagoe XXII Mukim,
- Sagoe XXV Mukim,
- Sagoe XXVI Mukim.
2. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh Raja.
3. Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh Raja ataupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di perintahkan oleh uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam (hasjmy, 1961:3).
Sistem Pemerintahan
Ketika dipimpin oleh Sultan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1577-1589), Kesultanan Aceh Darussalam sudah memiliki undang-undang yang terangkum dalam kitab Qanun Syarak Kesultanan Aceh Darussalam. Undang-undang ini berbasis pada Al-Quran dan Hadits yang mengikat seluruh rakyat dan bangsa Aceh. Di dalamnya, terkandung berbagai aturan mengenai kehidupan bangsa Aceh, termasuk syarat-syarat pemilihan pegawai kerajaan. Namun, fakta sejarah menunjukkan, walaupun Aceh Darussalam telah memiliki undang-undang, ternyata belum cukup untuk menjadikannya sebagai sebuah kerajaan konstitusional.
Pada era kepemimpinan Sultan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu Sultan Firmansyah (1589-1604), Kesultanan Aceh Darussalam memiliki susunan pemerintahan yang sudah cukup mapan. Kesultanan diperintah oleh Sultan dengan bantuan lima orang besar (tokoh-tokoh yang dihormarti), bendahara, empat syahbandar. Pada saat itu, angkatan perang yang dimiliki Kesultanan Aceh Darussalam cukup kuat, yaitu mempunyai 100 kapal perang di mana setiap kapal bisa ditempatkan sekitar 400 orang prajurit. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga mempunyai banyak sekali meriam-meriam besar yang terbuat dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperkuat juga dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh para hulubalang (Said a, 1981:218-219).
Selanjutnya, pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) merupakan masa kebanggaan dan kemegahan, tidak hanya dalam hal pengaruh dan kekuasaan, tetapi juga di bidang penertiban susunan pemerintahan, terutama dalam hal mengadakan penertiban perdagangan, kedudukan rakyat sesama rakyat (sipil), kedudukan rakyat terhadap pemerintah, kedudukan sesama anggota pemerintahan, dan sebagainya. Sultan Iskandar Muda telah merumuskan perundang-undangan yang terkenal dengan sebutan Adat Makuta Alam yang disadur dan dijadikan landasan dasar oleh sultan-sultan setelahnya.
Penertiban hukum yang dibangun Sultan Iskandar Muda memperluas kebesarannya sampai ke luar negeri, antara lain India, Arab, Turki, Mesir, Belanda, Inggris, Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Banyak negeri tetangga yang mengambil aturan-aturan hukum di Aceh untuk ditiru dan diteladani, terutama karena peraturan itu berunsur kepribadian yang dijiwai sepenuhnya oleh hukum-hukum agama. Dengan demikian, Adat Makuta Alam yang dicetuskan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda adalah adat yang bersendi syara`. Hukum yang berlaku di Kesultanan Aceh Darussalam ada dua yakni hukum Islam dan hukum adat.
Dalam makalah bertajuk “Ichtisar Susunan dan Sistem Keradjaan Atjeh di Zaman Sultan Iskandar Muda” (1961) yang ditulis oleh A. Hasjmy disebutkan, susunan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda menempatkan Sultan sebagai penguasa tertinggi pemerintahan, baik dalam bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Sebagai penguasa tertinggi, Sultan memiliki hak-hak istimewa, antara lain:
- Pembebasan orang dari segala macam hukuman.
- Membuat mata uang.
- Memperoleh hak panggilan kehormatan “Deelat” atau “Yang Berdaulat”.
- Mempunyai kewenangan untuk mengumumkan dan memberhentikan perang.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Sultan Aceh Darussalam dibantu oleh beberapa lembaga pendukung kesultanan, yaitu antara lain:
- Majelis Musyawarah Ketua dari majelis ini adalah Sultan Aceh Darussalam sendiri, sedangkan wakilnya adalah Wazir A`am (Menteri Pertama), dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan beberapa menteri serta dari kaum cerdik-pandai.
- Pengadilan Sultan (Mahkamah Agung) Sultan Aceh Darussalam juga menjadi ketua dari lembaga pengadilan tertinggi ini, sedangkan sebagai wakil adalah Ketua Kadhi Malikul Adil, dan anggota-anggotanya diangkat dari kalangan ulama dan cerdik-pandai.
- Majelis Wazir (Dewan Menteri) Sultan Aceh Darussalam duduk sebagai ketua majelis ini, sedangkan Wazir A`am (Menteri Pertama) bertindak sebagai wakilnya, dan anggota-anggotanya adalah dari kalangan para menteri kesultanan.
Selain itu, Sultan Aceh Darussalam bertindak sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang yang bergelar Laksamana sebagai wakilnya. Sultan juga berposisi sebagai Pemimpin Tertinggi Kepolisian yang dibantu oleh Kepala Polisi Negara selaku wakilnya. Ibukota Kesultanan Bandar Aceh Darussalam (termasuk istananya) berada langsung di bawah pimpinan Sultan yang dibantu oleh pejabat dengan gelar Teuku Panglima Kawaj sebagai wakilnya. Di samping itu, Sultan dibantu pula oleh dua orang Sekretaris Kesultanan yang terdiri dari dua gelar, yaitu (1) Teuku Keureukon Katibumuluk Sri Indrasura (jabatan ini kira-kira seperti Menteri Sekretaris Negara), dan (2) Teuku Keureukon Katibulmuluk Sri Indramuda (semacam Ajun Sekretaris Negara) (Hasjmy, 1961:2).
Kondisi Sosial-Ekonomi
Kondisi Sosial-Ekonomi
Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang karena memiliki cukup banyak pengalaman dalam bidang tersebut. Selain itu, kebanyakan masyarakat Aceh juga ahli dalam sektor pertukangan. Banyak di antara penduduk Aceh yang bermatapencaharian sebagai tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tukang jahit, tukang periuk, tukang pot, dan juga suka membuat berbagai macam minuman. Mengenai alat transaksi yang digunakan, pada sekitar abad ke-16, masyarakat Aceh yang bernaung di bawah pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sudah mengenal beberapa jenis mata uang. Uang yang digunakan di Aceh kala itu terbuat dari emas, kupang, pardu, dan tahil (Said a, 1981:219).
Sumber Artikel Atjeh Cyber Warrior
Sumber Artikel Atjeh Cyber Warrior
0 komentar: