Headlines News :

Latest Post

Cut Nyak Meutia

Kamis, 07 Februari 2013 | 11.32


Selalu ada saja yang menarik dari perempuan Aceh untuk dibicarakan. Keberanian dan keshalihan menjadi topik utamanya. Seluruh bangsa Indonesia pun mengakuinya. Bahkan penjajah Belanda pun dibuat terkagum-kagum dengan keberanian para perempuan serambi mekah.

Adalah H.C Zentgraaff mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan. Seorang penulis berkebangsaan Belanda yang sangat mengagumi keberanian perempuan Aceh. Terakhir dia menjabat sebagai redaktur di surat kabar Java Bode. Zentgraaff mengabadikan perang Aceh beserta para pejuangnya, baik pejuang laki-laki maupun perempuan. Salah satu tokoh pejuang wanita yang dikagumi Zentgraaff adalah Cut Nyak Meutia.

Zentgraaff menggambarkan sosok Cut Nyak Meutia sebagai seorang perempuan yang sangat cantik, ia menulis, ”Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang indah mempesona. Dia mengenakan pakaian adatnya yang indah menurut kebiasaan wanita Aceh. Mengenakan silueue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dengan kancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya dan tertutup rapat. Rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari”.

Dalam bahasa Aceh, meutia berarti mutiara. Memang Cut Meutia benar-benar mutiara tak ternilai dari tanah rencong. Disamping berparas jelita, Cut Nyak Meutia juga memiliki keberanian luar biasa. Ia menghabiskan 10 tahun masa hidupnya di hutan belantara untuk bergerilya melawan Belanda hingga menemui mati syahid. Sungguh sangat sulit ditemui di zaman sekarang sosok wanita rupawan yang mau hidup bersusah payah demi keyakinannya. Kebanyakan wanita rupawan memanfaatkan kecantikan fisiknya demi kemewahan duniawi semata.

Cut Nyak Meutia dilahirkan pada tahun 1870 di desa Pirak. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud seorang uleebalang (kepala desa) Pirak. Ibunya bernama Cut Jah. Cut Nyak Meutia adalah satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Ia juga anak bungsu. Kakak sulungnya bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali.

Sedari kecil sudah terkenal kecantikan Cut Meutia, banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Tak hanya cantik fisiknya, tetapi juga cantik hatinya. Inner beauty terpancar kuat dari diri Cut Meutia. Sebagaimana gadis-gadis Aceh yang sangat menjaga perilakunya, Cut Meutia pun menjaga tingkah lakunya berdasarkan syariat Islam.

Pendidikan agama ia dapatkan dari ayahnya, Teuku Ben Daud. Disamping menjabat sebagai uleebalang, ayahnya juga seorang ulama yang terkenal tidak pernah mau tunduk kepada Belanda hingga akhir hayatnya. Teuku Ben Daud membantu total Sultan Aceh dalam perang gerilya.

Waktu itu Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah tidak mau tunduk kepada Belanda. Sultan memutuskan meninggalkan istana yang telah dikuasai kaphe Belanda. Segenap rakyat yang setia membantu sultan dalam perjuangannya di pengasingan. Sultan selalu berpindah-pindah tempat dalam memimpin dan menjalankan roda pemerintahan. Teuku Ben Daud adalah pengikut setia Sultan. Beliau mengerahkan segenap kemampuan jiwa dan raganya demi mengusir “kaphe”, si kafir kaum penjajah.

Teuku Ben Daud menanamkan semangat perang fie sabilillah kepada seluruh putra-putrinya, tidak terkecuali kepada Meutia kecil. Tidak ada kemuliaan hidup dibawah cengkeraman penjajah. Hanya ada dua pilihan yaitu hidup mulia atau mati syahid. Gelora semangat jihad terpatri kuat dalam diri Cut Meutia. Lingkungan seperti inilah yang telah membentuk Cut Meutia menjadi seorang mutiara jelita yang mendamba mati syahid.

Ketika menginjak remaja, banyak remaja yang mendambakan dan ingin meminang Cut Meutia. Selaku wali, Teuku Ben Daud tidak semena-mena dalam menentukan jodoh putrinya. Ia selalu meminta persetujuan Cut Meutia. Akhirnya Cut Meutia menikah pada tahun 1890 dengan Teuku Syamsarif, anak angkat dari atasan ayahnya.

Teuku Syamsarif adalah anak angkat dari Cut Nyak Asiah, uleebalang daerah Keureutoe. Akan tetapi sangat disayangkan Teuku Syamsarif memiliki tabiat buruk yaitu silau dengan kemewahan dunia. Teuku Syamsarif menjalin kerjasama dengan Belanda. Harta benda dan kemewahan ia peroleh dari menjual bangsanya sendiri. Cut Meutia sangat kecewa dan geram dengan perilaku suaminya. Ia yang selama ini dididik oleh ayahnya untuk tidak mengenal kompromi dengan Belanda tidak bisa memaafkan suaminya. Akhirnya Cut Meutia menuntut cerai dan pulang kembali kepada ayahnya, Teuku Ben Daud.

Teuku Ben Daud bisa memahami alasan putrinya menuntut cerai, ia pun mendukung dan bangga dengan keputusan putrinya tersebut. Sungguh sangat jarang perempuan yang tidak silau dengan gemerlap harta dan kemilau kemewahan. Cut Meutia mendambakan seorang suami yang taat kepada Allah dan Rasul, serta menyerahkan seluruh hidupnya demi kemuliaan Islam.

Teuku Ben Daud sangat menyayangi Cut Meutia, dia ingin membahagiakan putri semata wayangnya. Akhirnya Cut Meutia dinikahkan dengan seorang pejuang tangguh, mujahid fie sabilillah yang bernama Teuku Chik Tunong. Meskipun berdarah bangsawan tapi Teuku Chik Tunong mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengusir penjajah Belanda. Cut Meutia hidup bahagia bersama Teuku Chik Tunong. Meski hidup sederhana, tapi hatinya tenang. Kemewahan bukanlah segalanya, ada yang lebih penting dari itu semua yaitu ketenangan batin. Ketenangan batin karena berada dalam ketaatan kepada Allah.

Bersama suaminya, Cut Meutia bahu membahu berjuang mengusir penjajah. Hutan belantara mereka jelajahi bersama. Perjuangan mereka dimulai tahun 1901. Ketika Sultan Aceh semakin terdesak, Teuku Ben Daud, Teuku Chik Tunong, Cut Meutia berada dalam garda terdepan dalam melindungi Sultan Muhammad Daud Syah.

Baris perjuangan Teuku Chik Tunong adalah daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang. Selaku istri, Cut Meutia berjuang bersama-sama, bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran. Berbagai taktiknya dapat memporak porandakan pertahanan pasukan Belanda.

Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang dan mundur. Mereka menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Taktik seperti ini cukup membuat pasukan Belanda kewalahan dan kerepotan.

Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyamar sebagai penduduk (ureung gampong). Para spion disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri. Dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui. Dengan cara seperti ini pasukan muslimin dapat mengatur strategi dan rencana pencegatan untuk melumpuhkan pasukan musuh. Pencegatan dan penyerangan oleh pasukan muslimin dilakukan secara tiba-tiba sehingga pasukan Belanda tidak dapat berbuat apa-apa. Dan dengan mudah pasukan muslimin menghancurkan dan merampas semua senjata dan perbekalan.

Berdasarkan catatan Zentgraaff, diketahui bahwa pasukan Teuku Chik Tunong cukup merepotkan Belanda. Ia menuliskan bahwa pada bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari spion Teuku Chik Tunong, diketahui bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi dan patroli. Kekuatan pasukan Belanda 30 personil di bawah pimpinan sersan Van Steijn Parve. Teuku Chik Tunong menjebak mereka. Dalam perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu dengan matinya pimpinan pasukan dan 8 orang serdadu serta banyak anggota pasukan yang cidera berat dan ringan. Sedangkan dipihak pejuang muslimin syahid 10 orang.

Kemudian pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 5 pucuk senapan.

Pergerakan dan penyerbuan pasukan Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia semakin ditingkatkan. Salah satu taktik lain yang dijalankan adalah taktik tipu daya dan taktik jebakan. Pada bulan Nopember 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (dalam hal ini Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia akan mengadakan kenduri. Kenduri ini bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. Pemilihan lokasi-lokasi jebakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa satu-satunya jalan yang akan dilalui menuju tempat tersebut adalah dengan memakai perahu. Jebakan ini akan mudah dilaksankan.

Isu yang disebarluaskan tersebut ternyata mendapat respon serius dari pimpinan pasukan Belanda di desa Matang Rayeuk. Di bawah pimpinan Letnan RDP De Cok bersama dengan 45 orang personilnya, mereka bermaksud menyerang acara tersebut. Setibanya pasukan di tepi sungai telah ada dua orang pendayung perahu (yaitu pejuang muslimin yang menyamar sebagai pengail). Tanpa ada kecurigaan sedikitpun pasukan Belanda memerintahkan kepada pendayung tersebut untuk segera menyeberangkan Pasukan Belanda. Sesuai dengan rencana yang telah disusun dan diatur oleh pejuang muslimin bahwa di tengah sungai pendayung tersebut harus melakukan gerakan untuk membalikan perahu.

Dalam suasana malam gelap gulita kacaulah pasukan Belanda dan dengan tiba-tiba muncul pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia melakukan penyerangan. Bersenjatakan beberapa pucuk senjata dan dengan pedang serta rencong terhunus, mereka melakukan gerakan perkelahian jarak dekat. Pasukan Belanda kacau balau, De Cok bersama dengan 28 prajuritnya tewas sedangkan pasukan muslimin dalam penyerangan ini dapat memperoleh 42 pucuk senapan.

Sungguh heroik pasangan Chik Tunong-Cut Meutia hingga membuat kesal Belanda. Berbagai strategi dan tipu muslihat digunakan Belanda untuk menjebak Teuku Chik Tunong. Akhirnya pada tahun 1905 Teuku Chik Tunong berhasil ditangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Sebelum menjalani eksekusi, Teuku Chik Tunong diijinkan untuk bertemu istrinya. Sambil menggendong anaknya Raja sabil yang berusia 6 tahun, Cut Meutia menengok suaminya tercinta. Pertemuan terakhir ini digunakan oleh Teuku Chik Tunong untuk menguatkan hati istrinya agar tetap teguh berjuang di jalan Allah. Ia juga mewasiatkan agar istrinya menikah lagi dengan Pang Nanggroe, panglima pasukan Teuku Chik Tunong yang gagah berani untuk melanjutkan perjuangan. Cut Meutia menerima dengan patuh semua wasiat suaminya. Sambil berurai air mata, Cut Meutia mengantar kepergian suaminya menjalani eksekusi. Teuku Chik Tunong gugur sebagai syuhada pada bulan Maret 1905. Ia dieksekusi dihadapan regu tembak Belanda di pantai Lhokseumawe.

Cut Meutia berduka, ia kehilangan sosok yang selama ini meneguhkan perjuangannya. Meski berduka tetapi bara perjuangan semakin menyala di dadanya. Setelah selesai masa iddahnya, sesuai wasiat suaminya, Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Mereka berdua kembali mengobarkan semangat jihad dan memimpin perang gerilya.

Zentgraaff mencatat pada tanggal 6 Mei 1907 dan 15 Juni 1907 Pang Nanggroe-Cut Meutia menyerang camp-camp Belanda. Penyerangan secara mendadak ini menyebabkan tewasnya pasukan Belanda serta hilangnya perbekalan senjata.

Pang Nanggroe juga menggunakan siasat cerdik untuk menjebak Belanda. Spionnya menyebarkan informasi kepada khalayak umum bahwa Pang Nanggroe-Cut Meutia akan mengadakan kenduri besar-besaran dirumahnya. Informasi tersebut diketahui Belanda, dan tanpa rasa curiga sedikitpun mereka menyerbu rumah Pang Nanggroe. Pang Nanggroe sudah mengatur sedemikian rupa agar rumahnya gampang dirobahkan. Ketika pasukan Belanda memasuki rumah Pangg Nanggroe, maka Laskar Mujahidin yang sudah menunggu langsung merobohkan rumah tersebut. Pasukan Belanda panik. Dalam keadaan kacau tersebut, laskar Mujahidin yang sudah mengintai langsung menyerbu pasukan Belanda. Semua pasukan Belanda tewas.

Pang Nanggroe Cut Meutia sangat dicintai masyarakat Aceh. Pang Nanggroe adalah seorang yang cerdas, dia sering mengadakan sabotase, memutus jalur transportasi Belanda. Hal ini menyebabkan Belanda keteteran. Supply logistik dan senjata Belanda sering kosong karena dirampas pasukan Pang Nanggroe.

Belanda bertekad untuk menangkap Pang Nanggroe. Beberapa kali terjadi pertempuran hebat tapi Pang Nanggroe-Cut Meutia berhasil lolos. Mereka selalu berpindah-pindah tempat sehingga sulit dilacak keberadaannya oleh Belanda. Segenap cara ditempuh Belanda untuk melacak basis pertahanan Pang Nanggroe.

Pada tanggal 25 September 1910, Belanda berhasil melacak keberadaan Pang Naggroe-Cut Meutia di Buket Hague. Belanda mengerahkan pasukan cukup besar. Terjadilah pertempuran dahsyat, pasukan muslimin terdesak karena kurang persiapan. Pang Nanggroe mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi pasukannya. Tetapi pertempuran berjalan tidak seimbang, dan gugurlah Pang Nanggroe sebagai syuhada. Dua butir peluru menerjang tubuhnya.

Mengetahui Pang Nanggroe sudah gugur, Cut Meutia memimpin kaum perempuan dan anak-anak melarikan diri ke hutan. Mereka berhasil keluar dari kepungan Belanda. Cut Meutia membawa serta anaknya Raja Sabil yang sudah berusia 11 tahun.

Cut Meutia berduka untuk kedua kalinya. Suami keduanya pun gugur sebagai syuhada. Meskipun tinggal sendiri, bukan berarti perjuangan telah berhenti. Para pejuang meminta supaya Cut Meutia mengambil alih tampuk kepemimpinan. Hal ini didasari pertimbangan bahwa Cut Meutia telah lama berperang gerilya. Cut Meutia sudah berpengalaman dan miltansinya tidak diragukan lagi. Cut Meutia pun menerima amanah tersebut. Ia masih menggunakan taktik gerilya, hit and run. Pasukannya sering mengadakan serangan mendadak kepada serdadu-serdadu Belanda yang sedang berpatroli. Cut Meutia memimpin pasukannya naik turun gunung. Sungguh perkasa wanita jelita ini.

Cut Meutia pun masuk dalam daftar orang yang dicari Belanda. Serangan-serangannya yang mendadak cukup membuat Belanda kewalahan. Akhirnya Belanda berhasil mengetahui keberadaan Cut Meutia. Pada tanggal 25 Oktober 1910, Belanda mengepung pasukan Cut Meutia. Pertempuran dahsyat pun terjadi. Meskipun tahu bahwa pasukannya telah terdesak, tapi Cut Meutia pantang untuk mundur. Diiringi gema takbir membahana, Cut Meutia menghunus rencongnya dan membunuh serdadu Belanda secara membabi buta. Pada pertempuran ini Cut Meutia gugur sebagai syuhada. Sebutir peluru menembus dadanya. Diapun roboh menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sampai akhir hidupnya, tidak pernah sekalipun Cut Nyak Meutia takluk kepada Belanda. Gemerlap kehidupan duniawi yang ditawarkan kepadanya tidak mampu memikat hatinya. Dialah Cut Nyak Meutia, wanita berparas jelita yang rela bergerilya selama 10 tahun di hutan belantara. Keteguhan hatinya membuat takjub semua pihak, baik kawan maupun lawan. Dialah sang mutiara pemburu syahid. Negara Indonesia pun menghormatinya dan mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. 

Sumber Artikel Blogdetik.com

Pocut Baren

Pocut Baren, putri uleebalang Teungkop, Teuku Cut Amat satu diantara sekian wanita Aceh yang tercatat sejarah sebagai pejuang tangguh. Namanya tercatat dalam Prominent Women in The Glimpse of History. 

Teungkop merupakan sebuah daerah bagian dari federasi Kaway XII di pantai barat Aceh tempat Pocut Baren dilahirkan. Dalam buku Wanita Utama Nusantara, Ibrahim Alfian mengungkapkan, setelah dewasa Pocut Baren menikah dengan seorang keujruen yang menjadi uleebalang Gume. Seorang pemimpin perjuangan melawan Belanda di daerah Woyla.

Selain Teungkop, federasi Kaway XII juga meliputi Pameu, Geumpang, Tangse, Anoe, Gume. Setelah tahun 1922 keulebalangan Teungkop dimasukkan ke dalam onderafdeling Meulaboh bersama daerah lainnya seperti Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Kaway XVI, Seneueam, Beutong dan Pameu.

Menurut Hoesin Djajaninggrat dalam Atjehsch Nederlandsch Woodenboek II, Pada masa kerajaan Aceh, federasi Kaway XII merupakan sebuah daerah otonom sendiri yang langsung berada di bawah kekuasaan Sultan Aceh. Kaway XII merupakan daerah pertambangan emas Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh seorang Keujruen yang disebut Keujreun Meuih, yang bertugas mengambil hasil emas dan pajak lainnya dari pertambangan emas di dalam wilayah federasi tersebut.

Pocut Baren lahir dan dibesarkan dalam suasana peperangan yang membentuk pribadinya menjadi wanita yang tahan terhadap segala situasi. Sejak kecil ia sudah menghadapi berbagai ujian berat sehingga membentuk pribadinya menjadi seorang yang kuat, berani dan ulet.

Setelah dewasa, Pocut Baren terlibat langsung dalam kancah perang melawan Belanda. Ia dengan suka rela meninggalkan kehidupan mewahnya sebagai seorang putri Uleebalang dengan bergabung bersama pejuang Aceh lainnya di belantara yang menggelar gerilya melawan Belanda. 

H M Zainuddin dalam Srikandi Atjeh, menggambarkan Baren sebagai wanita yang tahan menderita, sanggup hidup dalam waktu lama dalam pengembaraannya di gunung-gunung dan hutan belantara. Pengalaman dan penderitaan hidup seperti itu ia jalani semasa berjuang dengan Cut Nyak Dhien.

Pocut Baren juga digambarkan sebagai wanita yang berwatak pemberani, tangguh dan ulet yang menjadi modalnya dalam perjuangan. Ia disegani oleh teman-teman dan pengikutnya, serta ditakuti oleh musuh-musuhnya. Sebagaimana diakui oleh Doup salah seorang bekas marsose di Aceh dalam bukunya Gadenk Book va Het Korps Marechaussee. 

Membangun Benteng Gunong Macan
Pocut Baren berjuang sejak masa muda, sejak Cut Nyak Dhien memimpin sendiri gerakan perlawanannya terhadap Belanda setelah suami keduanya, Teuku Umar meninggal pada 11 Februari 1899. Pocut Baren menunjukkan kesetiaannya pada Cut Nyak Dhien, baik dalam perlawanan terhadap Belanda, maupun pengembaraan bersama dari satu tempat ke tempat lain.

Pengalaman bertempur yang diperoleh ketika bersama Cut Nyak Dhien mempertegar pendiriannya dalam melawan Belanda, terutama ketika memimpin sendiri pasukannya. Pendiriannya semakin teguh ketika suaminya, Keujruen Game tewas dalam sebuah pertempuran dengan Belanda. 

Ia menghimpun kembali pasukannya, memobilisasi penduduk di Kaway XII untuk meneruskan perjuangan yang lebih agresif. Sebaliknya, Belanda juga melakukan pengejaran terhadap pasukan Pocut Baren secara lebih intensif.

Setelah pasukan dapat diatur kembali, Pocut Baren melakukan konsolidasi dan mengatur strategi dalam upaya melakukan penyerangan terhadap Belanda. Ia membangun sebuah benteng di Gunong Macan sebagai pusat pertahanannya. Dari benteng inilah segera penyerangan terhadap tangsi militer Belanda dan penyergapan terhadap patroli-patroli pasukan Belanda.

Menurut H C Zentgraff dalam buku Atjeh, Belanda sangat merasa kesukaran dalam menghadapi siasat perang Pocut Baren. Sehingga untuk memburu perempuan tangguh itu, Belanda menambah pasukannya dengan mendatangkan serdadu dari luar daerah, serta membangun tangsi di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. 

Dari dua tangsi itulah pasukan Belanda digerakkan untuk memburu pasukan Pocut Baren. Tapi pengejaran itu tak membuahkan hasil. Malah Pocut Baren yang lebih sering melakukan penyerangan terhadap tangsi-tangsi Belanda, baik yang berada di Tanoh Mirah maupun di Kuala Bhee. Seusai melakukan penyerangan, pasukan Pocut Baren kembali ke pusat pertahanannya di Benteng Gunong Macan. Penyerangan seperti itu dilakukan bertahun-tahun oleh Pocut Baren.

Tentang hal itu Zentgraff menulis, “Begitulah selama bertahun-tahun ia hidup dalam pertempuran yang diselingi jeda sejenak ke tempat-tempat yang jauh terpencil yang belum lagi didatangi kompeni, masih merupakan masa yang menyenangkan baginya. Cara bertempur seperti ini, dimana Anda berhenti dulu kalau merasa bosan bertempur. Masa-masa menyenangkan akan segera berakhir setelah marsose mulai melakukan pembersihan di daerah pesisir barat tersebut. Penghidupan berubah menjadi suatu yang menyulitkan dengan segala perburuan dan penyergapan yang dilakukan. Namun, ia menerima segala risiko tersebut dan ia senantiasa melawan dengan layaknya. Ia selalu bergerak sangat cepat dan berkuasa setaraf dengan laki-laki yang paling kuat.”

Dalam catatan Doup (1940:204) Pocut Baren melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Ia memimpin sendiri pasukannya setelah Cut Nyak Dhien tertangkap pada 4 November 1905. Namun, betapa pun mobilitas dan kuatnya pertahanan, Belanda terus melakukan pengejaran. Kelemahan di bidang persenjataan yang tidak berimbang dengan persenjataan yang dimiliki Belanda menjadi faktor yang menyebabkan Pocut Baren tidak dapat bertahan dalam waktu lama.

Kaki Pocut Baren Diamputasi
Suatu ketika Belanda melakukan penyerangan terhadap benteng Gunong Macan. Penyerangan itu dilakukan di bawah pimpinan Letnan Hoogers yang diberangkatkan dari Kuala Bhee. Mereka menggempur benteng pertahanan Pocut Baren dengan dahsyat. Pocut Baren bersama pasukannya melakukan perlawan yang sengit. Dalam pertempuran itu, kaki Pocut Baren tertembak dengan luka yang cukup parah. Karena luka itulah, ia ditawan oleh Belanda dan dibawa ke Meulaboh sebagai tawanan lalu dibawa ke Kutaraja untuk pengobatan.

Luka kakinya bertambah parah, hingga tak dapat diobati lagi. Tim dokter yang merawatnya terpaksa melakukan amputasi kaki Pocut Baren. Selama di Kutaraja Pocut Baren diperlakukan sebagaimana layaknya tawanan perang dan seorang Uleebalang. Masa-masa di Kutaraja merupakan masa penantian yang sangat panjang, masa penantian keputusan hukuman yang akan dijatuhkan Belanda terhadapnya.

Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh, Van Daalen memutuskan hukuman buang ke Pulau Jawa terhadap wanita perkasa ini. Mendengar putusan itu, seorang perwira penghubung Belanda, T J Veltman, menyampaikan saran kepada Van Daalen agar Pocut Baren tidak dibuang ke Pulau Jawa, melainkan dikembalikan ke daerahnya untuk melanjutkan kembali kepemimpinannya sebagai Uleebalang. Saran Veltman itu diterima oleh Van Daalen.

Dengan dikembalikannya Pocut Baren ke kampung halamannya, maka berakhirlah perlawanan wanita itu. Perlawanan yang pernah sangat menyulitkan Belanda. Banyak perwira Belanda silih berganti didatangkan untuk memburu pasukan Pocut Baren, sebagaimana diakui oleh Doup dalam Gadenk Book va Het Korps Marechaussee.

Dalam buku itu Doup menulis. “Para pemimpin patroli pemburu Pocut Baren adalah tokoh-tokoh Belanda terkemuka dan terkenal amat berpengalaman dalam peperangan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu memang dianggap sebagai lawan tangguh bagi Belanda. Mereka antara lain adalah Kapten TJ Veltman, Kapten A Geersema Beckerrigh, Kapten F Daarlang, Letnan JHC Vastenon, Letnan OO Brewer, Letnan W Hoogers, Letnan AH Beanewitz, Letnan HJ Kniper, Letnan CA Reumpol, Letnan Wvd Vlerk, Letnan WL Kramers, Letnan H Scheurleer, Letnan Romswinkel, Sersan Duyts, Sersan De Jong, Sersan Gackenstaetter, Sersan Teutelink, Sersan van Daalen, dan Sersan Bron.

Setelah kaki Pocut Baren dianggap sembuh dan diyakini oleh Belanda ia tidak akan melakukan perlawanan lagi, Pocut Baren dikirim kembali ke Teungkop. Veltman telah memberikan jasa baiknya kepada wanita pejuang itu. Ia juga yang mengusulkan agar status Pocut Baren sebagai Uleebalang Teungkop dikembalikan, dan namanya direhabilitasi.

Veltman yang fasih berbahasa Aceh, secara berkala terus melakukan komunikasi dengan Pocut Baren, sehingga perwira Belanda itu dapat membuat laporan mengenai perubahan yang terjadi pada Pocut Baren. Ia wanita yang suka berterus terang, suatu sikap yang amat dihargai oleh Veltman. Karena itulah Pocut Baren dikenal sebagai pejuang yang dapat menghormati musuhnya karena kebaikannya.

Dendang Pocut Baren 
Meski telah menghentikan perjuangan bersenjata, Pocut Baren sebagai Uleebalang tetap berjuang untuk kemakmuran rakyatnya di Teungkop. Ia membangun negerinya menjadi sebuah negeri yang makmur, ia membangkitkan semangat rakyatnya untuk bekerja keras.

Sawah-sawah yang sebelumnya ditinggalkan karena peperangan, digarap kembali. Ia menginginkan tak satu petak sawah pun terlantar. Ia juga menyerukan agar kebun-kebun yang kosong ditanami dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Ia selalu menegur bila ada rakyatnya yang malas.

Letnan H Scheurleer komandan Belanda di bivak Tanoh Mirah merangkap penguasa sipil di sana, melaporkan bahwa Pocut Baren benar-benar telah berusaha sungguh-sungguh menciptakan ketertiban, keamanan dan kemakmuran.

Pocut Baren tidak hanya dikenal sebagai pejuang yang tangguh, tapi juga pemimpin rakyat dan penyair. Di dalam tubuhnya mengalir darah seni yang kental. Pada saat-saat beristirahat dari kesibukannya sebagai pemimpin pemerintahan, ia mengenang peristiwa-peristiwa yang pernah dilaluinya semasa peperangan melawan Belanda.

Mengenang semua itu, ia menciptakan pantun-pantun, syair dan ungkapan hatinya dalam sajak. Salah satu syair yang pernah didendangkannya adalah Krueng Woyla. Ia menulisnya ketika mengenang kesulitannya dalam peperangan di Woyla. Pocut baren menulis: 

Di Krueng Woyla ceukoe likat 
Eungkot jilumpat jisangka tuba 
Seungat di yup seungat di rambat 
Meureuboe Barat buka suara 
Bukon sayang itek di kapai 
Jitimoh bulee ka sion sapeu 
Bukon sayang bilek kutinggai 
Teumpat ku tido siang dan malam.

Syair itu dikutip oleh Zentgraaff dalam bukunya Athjeh. Dalam buku itu Zentgraaff juga menulis. “Pocut Baren sangat disayangi oleh rakyatnya. Uleebalang yang gagah berani sekaligus sastrawan. Syair-syair yang diciptakannya sangat digemari. Namun, betapapun besarnya cinta tetapi tak kuasa melawan takdir, setiap orang akan meninggal, termasuk Pocut Baren. Hal itulah yang terjadi pada wanita itu pada tahun 1933. Ia meninggal dunia pada saat itu, meninggalkan rakyat yang mencintainya, yang masih terus mengenangnya.

Sumber Artikel Aceh Tourismagency

Tutorial Blogspot

 
Copyright © 2013. ForeGone | Powered by Blogger