Selalu ada saja yang menarik dari perempuan Aceh untuk dibicarakan. Keberanian dan keshalihan menjadi topik utamanya. Seluruh bangsa Indonesia pun mengakuinya. Bahkan penjajah Belanda pun dibuat terkagum-kagum dengan keberanian para perempuan serambi mekah.
Adalah H.C Zentgraaff mantan serdadu Belanda yang dimasa pensiunnya beralih menjadi wartawan. Seorang penulis berkebangsaan Belanda yang sangat mengagumi keberanian perempuan Aceh. Terakhir dia menjabat sebagai redaktur di surat kabar Java Bode. Zentgraaff mengabadikan perang Aceh beserta para pejuangnya, baik pejuang laki-laki maupun perempuan. Salah satu tokoh pejuang wanita yang dikagumi Zentgraaff adalah Cut Nyak Meutia.
Zentgraaff menggambarkan sosok Cut Nyak Meutia sebagai seorang perempuan yang sangat cantik, ia menulis, ”Cut Meutia bukan saja amat cantik tetapi iapun memiliki tubuh yang indah mempesona. Dia mengenakan pakaian adatnya yang indah menurut kebiasaan wanita Aceh. Mengenakan silueue (celana) sutera berwarna hitam dan baju dengan kancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya dan tertutup rapat. Rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari”.
Dalam bahasa Aceh, meutia berarti mutiara. Memang Cut Meutia benar-benar mutiara tak ternilai dari tanah rencong. Disamping berparas jelita, Cut Nyak Meutia juga memiliki keberanian luar biasa. Ia menghabiskan 10 tahun masa hidupnya di hutan belantara untuk bergerilya melawan Belanda hingga menemui mati syahid. Sungguh sangat sulit ditemui di zaman sekarang sosok wanita rupawan yang mau hidup bersusah payah demi keyakinannya. Kebanyakan wanita rupawan memanfaatkan kecantikan fisiknya demi kemewahan duniawi semata.
Cut Nyak Meutia dilahirkan pada tahun 1870 di desa Pirak. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud seorang uleebalang (kepala desa) Pirak. Ibunya bernama Cut Jah. Cut Nyak Meutia adalah satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara. Ia juga anak bungsu. Kakak sulungnya bernama Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali.
Sedari kecil sudah terkenal kecantikan Cut Meutia, banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Tak hanya cantik fisiknya, tetapi juga cantik hatinya. Inner beauty terpancar kuat dari diri Cut Meutia. Sebagaimana gadis-gadis Aceh yang sangat menjaga perilakunya, Cut Meutia pun menjaga tingkah lakunya berdasarkan syariat Islam.
Pendidikan agama ia dapatkan dari ayahnya, Teuku Ben Daud. Disamping menjabat sebagai uleebalang, ayahnya juga seorang ulama yang terkenal tidak pernah mau tunduk kepada Belanda hingga akhir hayatnya. Teuku Ben Daud membantu total Sultan Aceh dalam perang gerilya.
Waktu itu Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah tidak mau tunduk kepada Belanda. Sultan memutuskan meninggalkan istana yang telah dikuasai kaphe Belanda. Segenap rakyat yang setia membantu sultan dalam perjuangannya di pengasingan. Sultan selalu berpindah-pindah tempat dalam memimpin dan menjalankan roda pemerintahan. Teuku Ben Daud adalah pengikut setia Sultan. Beliau mengerahkan segenap kemampuan jiwa dan raganya demi mengusir “kaphe”, si kafir kaum penjajah.
Teuku Ben Daud menanamkan semangat perang fie sabilillah kepada seluruh putra-putrinya, tidak terkecuali kepada Meutia kecil. Tidak ada kemuliaan hidup dibawah cengkeraman penjajah. Hanya ada dua pilihan yaitu hidup mulia atau mati syahid. Gelora semangat jihad terpatri kuat dalam diri Cut Meutia. Lingkungan seperti inilah yang telah membentuk Cut Meutia menjadi seorang mutiara jelita yang mendamba mati syahid.
Ketika menginjak remaja, banyak remaja yang mendambakan dan ingin meminang Cut Meutia. Selaku wali, Teuku Ben Daud tidak semena-mena dalam menentukan jodoh putrinya. Ia selalu meminta persetujuan Cut Meutia. Akhirnya Cut Meutia menikah pada tahun 1890 dengan Teuku Syamsarif, anak angkat dari atasan ayahnya.
Teuku Syamsarif adalah anak angkat dari Cut Nyak Asiah, uleebalang daerah Keureutoe. Akan tetapi sangat disayangkan Teuku Syamsarif memiliki tabiat buruk yaitu silau dengan kemewahan dunia. Teuku Syamsarif menjalin kerjasama dengan Belanda. Harta benda dan kemewahan ia peroleh dari menjual bangsanya sendiri. Cut Meutia sangat kecewa dan geram dengan perilaku suaminya. Ia yang selama ini dididik oleh ayahnya untuk tidak mengenal kompromi dengan Belanda tidak bisa memaafkan suaminya. Akhirnya Cut Meutia menuntut cerai dan pulang kembali kepada ayahnya, Teuku Ben Daud.
Teuku Ben Daud bisa memahami alasan putrinya menuntut cerai, ia pun mendukung dan bangga dengan keputusan putrinya tersebut. Sungguh sangat jarang perempuan yang tidak silau dengan gemerlap harta dan kemilau kemewahan. Cut Meutia mendambakan seorang suami yang taat kepada Allah dan Rasul, serta menyerahkan seluruh hidupnya demi kemuliaan Islam.
Teuku Ben Daud sangat menyayangi Cut Meutia, dia ingin membahagiakan putri semata wayangnya. Akhirnya Cut Meutia dinikahkan dengan seorang pejuang tangguh, mujahid fie sabilillah yang bernama Teuku Chik Tunong. Meskipun berdarah bangsawan tapi Teuku Chik Tunong mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengusir penjajah Belanda. Cut Meutia hidup bahagia bersama Teuku Chik Tunong. Meski hidup sederhana, tapi hatinya tenang. Kemewahan bukanlah segalanya, ada yang lebih penting dari itu semua yaitu ketenangan batin. Ketenangan batin karena berada dalam ketaatan kepada Allah.
Bersama suaminya, Cut Meutia bahu membahu berjuang mengusir penjajah. Hutan belantara mereka jelajahi bersama. Perjuangan mereka dimulai tahun 1901. Ketika Sultan Aceh semakin terdesak, Teuku Ben Daud, Teuku Chik Tunong, Cut Meutia berada dalam garda terdepan dalam melindungi Sultan Muhammad Daud Syah.
Baris perjuangan Teuku Chik Tunong adalah daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara sekarang. Selaku istri, Cut Meutia berjuang bersama-sama, bahu-membahu dengan suami dan para pejuang lainnya. Ia bukan saja sebagai ibu rumah tangga tapi ia juga bertindak sebagai pengatur strategi pertempuran. Berbagai taktiknya dapat memporak porandakan pertahanan pasukan Belanda.
Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia di dalam pergerakannya selalu menggunakan taktik perang gerilya dan spionase yaitu suatu taktik serang dan mundur. Mereka menggunakan prajurit memata-matai gerak gerik pasukan lawan terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Taktik seperti ini cukup membuat pasukan Belanda kewalahan dan kerepotan.
Taktik Spionase dilakukan oleh para spion dari pasukan pejuang yang menyamar sebagai penduduk (ureung gampong). Para spion disebarluaskan di pelosok-pelosok negeri. Dengan keluguannya para spion selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah serta lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui. Dengan cara seperti ini pasukan muslimin dapat mengatur strategi dan rencana pencegatan untuk melumpuhkan pasukan musuh. Pencegatan dan penyerangan oleh pasukan muslimin dilakukan secara tiba-tiba sehingga pasukan Belanda tidak dapat berbuat apa-apa. Dan dengan mudah pasukan muslimin menghancurkan dan merampas semua senjata dan perbekalan.
Berdasarkan catatan Zentgraaff, diketahui bahwa pasukan Teuku Chik Tunong cukup merepotkan Belanda. Ia menuliskan bahwa pada bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari spion Teuku Chik Tunong, diketahui bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi dan patroli. Kekuatan pasukan Belanda 30 personil di bawah pimpinan sersan Van Steijn Parve. Teuku Chik Tunong menjebak mereka. Dalam perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu dengan matinya pimpinan pasukan dan 8 orang serdadu serta banyak anggota pasukan yang cidera berat dan ringan. Sedangkan dipihak pejuang muslimin syahid 10 orang.
Kemudian pada bulan Agustus 1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim Blang Nie. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslimin dapat merebut 5 pucuk senapan.
Pergerakan dan penyerbuan pasukan Teuku Chik Tunong dan Cut Meutia semakin ditingkatkan. Salah satu taktik lain yang dijalankan adalah taktik tipu daya dan taktik jebakan. Pada bulan Nopember 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (dalam hal ini Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia akan mengadakan kenduri. Kenduri ini bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. Pemilihan lokasi-lokasi jebakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa satu-satunya jalan yang akan dilalui menuju tempat tersebut adalah dengan memakai perahu. Jebakan ini akan mudah dilaksankan.
Isu yang disebarluaskan tersebut ternyata mendapat respon serius dari pimpinan pasukan Belanda di desa Matang Rayeuk. Di bawah pimpinan Letnan RDP De Cok bersama dengan 45 orang personilnya, mereka bermaksud menyerang acara tersebut. Setibanya pasukan di tepi sungai telah ada dua orang pendayung perahu (yaitu pejuang muslimin yang menyamar sebagai pengail). Tanpa ada kecurigaan sedikitpun pasukan Belanda memerintahkan kepada pendayung tersebut untuk segera menyeberangkan Pasukan Belanda. Sesuai dengan rencana yang telah disusun dan diatur oleh pejuang muslimin bahwa di tengah sungai pendayung tersebut harus melakukan gerakan untuk membalikan perahu.
Dalam suasana malam gelap gulita kacaulah pasukan Belanda dan dengan tiba-tiba muncul pasukan Teuku Chik Tunong-Cut Meutia melakukan penyerangan. Bersenjatakan beberapa pucuk senjata dan dengan pedang serta rencong terhunus, mereka melakukan gerakan perkelahian jarak dekat. Pasukan Belanda kacau balau, De Cok bersama dengan 28 prajuritnya tewas sedangkan pasukan muslimin dalam penyerangan ini dapat memperoleh 42 pucuk senapan.
Sungguh heroik pasangan Chik Tunong-Cut Meutia hingga membuat kesal Belanda. Berbagai strategi dan tipu muslihat digunakan Belanda untuk menjebak Teuku Chik Tunong. Akhirnya pada tahun 1905 Teuku Chik Tunong berhasil ditangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Sebelum menjalani eksekusi, Teuku Chik Tunong diijinkan untuk bertemu istrinya. Sambil menggendong anaknya Raja sabil yang berusia 6 tahun, Cut Meutia menengok suaminya tercinta. Pertemuan terakhir ini digunakan oleh Teuku Chik Tunong untuk menguatkan hati istrinya agar tetap teguh berjuang di jalan Allah. Ia juga mewasiatkan agar istrinya menikah lagi dengan Pang Nanggroe, panglima pasukan Teuku Chik Tunong yang gagah berani untuk melanjutkan perjuangan. Cut Meutia menerima dengan patuh semua wasiat suaminya. Sambil berurai air mata, Cut Meutia mengantar kepergian suaminya menjalani eksekusi. Teuku Chik Tunong gugur sebagai syuhada pada bulan Maret 1905. Ia dieksekusi dihadapan regu tembak Belanda di pantai Lhokseumawe.
Cut Meutia berduka, ia kehilangan sosok yang selama ini meneguhkan perjuangannya. Meski berduka tetapi bara perjuangan semakin menyala di dadanya. Setelah selesai masa iddahnya, sesuai wasiat suaminya, Cut Meutia menikah dengan Pang Nanggroe. Mereka berdua kembali mengobarkan semangat jihad dan memimpin perang gerilya.
Zentgraaff mencatat pada tanggal 6 Mei 1907 dan 15 Juni 1907 Pang Nanggroe-Cut Meutia menyerang camp-camp Belanda. Penyerangan secara mendadak ini menyebabkan tewasnya pasukan Belanda serta hilangnya perbekalan senjata.
Pang Nanggroe juga menggunakan siasat cerdik untuk menjebak Belanda. Spionnya menyebarkan informasi kepada khalayak umum bahwa Pang Nanggroe-Cut Meutia akan mengadakan kenduri besar-besaran dirumahnya. Informasi tersebut diketahui Belanda, dan tanpa rasa curiga sedikitpun mereka menyerbu rumah Pang Nanggroe. Pang Nanggroe sudah mengatur sedemikian rupa agar rumahnya gampang dirobahkan. Ketika pasukan Belanda memasuki rumah Pangg Nanggroe, maka Laskar Mujahidin yang sudah menunggu langsung merobohkan rumah tersebut. Pasukan Belanda panik. Dalam keadaan kacau tersebut, laskar Mujahidin yang sudah mengintai langsung menyerbu pasukan Belanda. Semua pasukan Belanda tewas.
Pang Nanggroe Cut Meutia sangat dicintai masyarakat Aceh. Pang Nanggroe adalah seorang yang cerdas, dia sering mengadakan sabotase, memutus jalur transportasi Belanda. Hal ini menyebabkan Belanda keteteran. Supply logistik dan senjata Belanda sering kosong karena dirampas pasukan Pang Nanggroe.
Belanda bertekad untuk menangkap Pang Nanggroe. Beberapa kali terjadi pertempuran hebat tapi Pang Nanggroe-Cut Meutia berhasil lolos. Mereka selalu berpindah-pindah tempat sehingga sulit dilacak keberadaannya oleh Belanda. Segenap cara ditempuh Belanda untuk melacak basis pertahanan Pang Nanggroe.
Pada tanggal 25 September 1910, Belanda berhasil melacak keberadaan Pang Naggroe-Cut Meutia di Buket Hague. Belanda mengerahkan pasukan cukup besar. Terjadilah pertempuran dahsyat, pasukan muslimin terdesak karena kurang persiapan. Pang Nanggroe mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi pasukannya. Tetapi pertempuran berjalan tidak seimbang, dan gugurlah Pang Nanggroe sebagai syuhada. Dua butir peluru menerjang tubuhnya.
Mengetahui Pang Nanggroe sudah gugur, Cut Meutia memimpin kaum perempuan dan anak-anak melarikan diri ke hutan. Mereka berhasil keluar dari kepungan Belanda. Cut Meutia membawa serta anaknya Raja Sabil yang sudah berusia 11 tahun.
Cut Meutia berduka untuk kedua kalinya. Suami keduanya pun gugur sebagai syuhada. Meskipun tinggal sendiri, bukan berarti perjuangan telah berhenti. Para pejuang meminta supaya Cut Meutia mengambil alih tampuk kepemimpinan. Hal ini didasari pertimbangan bahwa Cut Meutia telah lama berperang gerilya. Cut Meutia sudah berpengalaman dan miltansinya tidak diragukan lagi. Cut Meutia pun menerima amanah tersebut. Ia masih menggunakan taktik gerilya, hit and run. Pasukannya sering mengadakan serangan mendadak kepada serdadu-serdadu Belanda yang sedang berpatroli. Cut Meutia memimpin pasukannya naik turun gunung. Sungguh perkasa wanita jelita ini.
Cut Meutia pun masuk dalam daftar orang yang dicari Belanda. Serangan-serangannya yang mendadak cukup membuat Belanda kewalahan. Akhirnya Belanda berhasil mengetahui keberadaan Cut Meutia. Pada tanggal 25 Oktober 1910, Belanda mengepung pasukan Cut Meutia. Pertempuran dahsyat pun terjadi. Meskipun tahu bahwa pasukannya telah terdesak, tapi Cut Meutia pantang untuk mundur. Diiringi gema takbir membahana, Cut Meutia menghunus rencongnya dan membunuh serdadu Belanda secara membabi buta. Pada pertempuran ini Cut Meutia gugur sebagai syuhada. Sebutir peluru menembus dadanya. Diapun roboh menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Sampai akhir hidupnya, tidak pernah sekalipun Cut Nyak Meutia takluk kepada Belanda. Gemerlap kehidupan duniawi yang ditawarkan kepadanya tidak mampu memikat hatinya. Dialah Cut Nyak Meutia, wanita berparas jelita yang rela bergerilya selama 10 tahun di hutan belantara. Keteguhan hatinya membuat takjub semua pihak, baik kawan maupun lawan. Dialah sang mutiara pemburu syahid. Negara Indonesia pun menghormatinya dan mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Sumber
Artikel Blogdetik.com